BY:RESTIEKAADIANTI
Suasana sepi menyeruak dengan perlahan.
Daun-daun kering jatuh berguguran dari rantingnya. Angin menghembus dengan
lembutmenyibakkan poni rambutku. Alunan gitar mengalun lembut membunyikan nada
mellow. Miko yang memainkannya. Indah. Itulah yang mungkin dipikirkan para
penonton. Alunan gitar tersebut mengiringi lagu yang kubawakan. Sebuah lagu
dari Maudy Ayunda yaitu Perahu Kertas. Sebuah lagu yang mengingatkanku pada
sahabat lama yang akhirnya menjadi cinta pertamaku di masa remaja.
Kubahagia... perahu kertasku
kan melaju. Dan kau ada... diantara milyaran manusia. Dan ku bisa, dengan
radarku... menemukanmu. Tiada lagi yang mampu berdiri, halangi rasaku, cintaku
padamu.
Tepukan penonton meramaikan
suasana lapangan. Ramai dari mereka yang bersorak gembira. Kusapukan
pandanganku ke seluruh lapangan. Sosok yang sangat kukenal melambaikan
tangannya dari barisan murid cowok paling belakang. Ia tersenyum dengan sangat
manis. Aku membalas senyumnya. Sementara, di barisan cewek teman teman
sekelasku bersorak untuk memberikan semangat.
Setelah usai membawakan lagu
tersebut, aku dan Miko turun dari panggung. Selanjutnya adalah penampilan dari
ekskul teater. Ya, ini adalah minggu pertama di bulan Februari. Dimana hari ini
adalah agenda OSIS menampilkan semua ekstrakurikuler yang ada di sekolah ini.
Aku dan Miko adalah perwakilan dari ekskul musik. Sebenarnya, anggota kami
sangat ramai. Hanya saja, tidak semua dari kami yang tampil, karena waktu
latihan yang diberikan sangat singkat. Sehingga, kami tampil apa adanya.
“Ko, aku permisi dulu ya beli
minum. Haus nih,” ucapku.
“Nih, minum pake punya aku aja.
Baru aku beli. Daripada bolak-balik. Ntar, kalo dah habis, aku yang beliin.
Kalo gak, kamu duduk aja, biar aku yang beliin.” Jawab Miko. Begitulah selalu
perhatian Miko kepadaku. Perhatiaannya selalu membuatku bahagia. Layaknya
seorang kakak laki-laki bagiku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman serta
berkata, “Ehm, gak usah deh. Aku beli sendiri aja, sekalian cari angin.”
“Oh, yaudah. Hati-hati ya, Cha.”
Ujarnya. Aku segera berjalan keluar sekolah. Mencari supermarket terdekat untuk
membeli sebotol minuman yang aku butuhkan. Tiba-tiba, seseorang memanggilku.
Aku memperlambat langkahku.
“Reskaa!!!” panggil suara
tersebut. Aku yakin, ini adalah suara Miko. Tapi, bukankah suara Miko lebih
berat? Sejenak aku menoleh. Aku terkejut. Itu adalah suara cowok yang
melambaikan tangannya padaku saat tampil tadi. Perkenalkan, namanya Rahel.
Sebenarnya, dialah orang yang aku sukai sejak kecil tersebut dan lagu yang
kubawakan tadi sebenarnya ditujukan padanya. Sahabat tapi ternyata cinta. Hanya
saja, aku tak berani mengungkapkannya. Bagaimana mungkin? Aku adalahseorang
wanita. Begitu besar gengsiku untuk mengatakan yang sebenarnya. Jadi, lebih
baik rahasia ini kupendam saja dahulu sampai ada waktu yang tepat untuk
mengungkapkannya.
“Tumben manggil nama asli.
Biasanya juga manggil ‘Echa’.” Sahutku sambil berjalan. Dia menyamakan langkah
kakinya denganku. Aku hanya menunduk dalam-dalam, menyembunyikan semu merah di
pipi. Bahkan, aku hanya berani menatap bayangannya di tanah. Jambul rambutnya
yang terhembus angin bergoyang dengan lembut. Tiba-tiba, dia merangkulkan
tangannya di pundakku. Wajahku terasa memanas. Bahkan, keringatpun bercucuran
di dahiku.
“Suka-suka gue mau manggil apa.
Emangnya masbuloh? Ngomong-ngomong, keren coy penampilan loe tadi. Gilaaak,
broo. Pasti semua cowok di sekolah suka deh sama loe. Udah cantik, pandai
nyanyi lagi. Gue beruntung jadi sahabat loe.” Ucapnya sambil mengelus kepalaku
dengan lembut. Suasana padatnya jalan raya mengiringi percakapan kami.
“Biasa aja keles. Gak usah
lebay. Loe mau minum, gak? Gue traktir. Nih, gue mau ke supermarket depan.”
Tawarku. Sesampainya di supermarket, aku mengambil dua botol air mineral, lalu
berjalan ke kasir. Setelah itu, aku memberikan sebotol air mineral tersebut
kepada Rahel. Ia meraihnya dengan senyuman. Oh, senyum itu selalu menghiasi
wajah lonjongnya. Manis.
“Thankyou, broo. Tau aja kalo
tenggorokan gue kering gegara neriakin nama loe.” Aku hanya melihatnya dengan
ekspresi datar. Malu untuk tersenyum. Tapi, lagi-lagi dia menyunginggkan
senyumannya untuk yang kesekian kali.
“Eh, hape gue ketinggalan di kelas. Gue ambil dulu ya. Loe bisa jalan sendiri
kan? Ati-ati. Entar diculik lagi.” Sahutnya tiba-tiba, kemudian berlari.
Setelah dia pergi, aku mengembuskan nafas dengan lega. Huuhh... aku tersenyum
mengingat kejadian tadi.
Ketika aku memasuki sekolah,
tidak ada lagi penampilan ekskul di lapangan. Hening, sepi. Hanya ada Miko di
tengah lapangan tersebut. Ia duduk di sebuah kursi dengan menundukkan
kepalanya. Aku berlari menemuinya. “Miko, kok sepi lapangannya. Pada kemana nih
semua orang?” tanyaku dengan terburu-buru. Miko berdiri dengan kedua tangan
yang ditaruhnya di belakang punggung. Dia berkata, “Sebenarnya, aku udah lama
suka sama kamu, Cha. Tapi, aku baru berani mengatakannya sekarang. Jadi, tanpa
perlu basa-basi, will you be my girlfriend?” ucapnya dengan mendadak.
Tiba-tiba, spanduk yang bertuliskan “ Miko Love Reska” digantungkan di lantai
dua sekolah kami. Spanduk itu tidak hanya satu, tapi ada 5. Ditaruh di lantai 2
dan 3 secara acak. Balon-balon berbentuk love diikatkan di tiang basket.
Potongan kertas-kertas kecil yang berwarna, dijatuhkan dari lantai atas
tersebut. Lengkap dengan sentuhan terakhir, bunga mawar yang dipegang Miko
dikeluarkan dari balik punggungnya. Aku malu. Wajahku saat ini merah padam.
Kuharap, Rahel datang saat ini juga, lalu menembakku di depan Miko. Tapi, itu
tidak mungkin. Aku berbalik arah hendak
lari, tapi Miko langsung menarik tanganku. “Kamu harus terima, baru boleh
pergi.” Ucapnya meyakinkan. Tanpa penuh basa-basi aku menjawab, “Iya, iya.”
Lalu, ia melepaskan cengkraman tangannya disertai senyuman. Semua penghuni
sekolah langsung bersorak gembira.
2 Bulan
Berikutnya...
Hari ini, adalah hari annivku
dengan Miko. Tapi, aku tidaklah bahagia dengan semua ini. Jadi, aku harus
membicarakan ini dengan Miko. Dia telah berjanji untuk menemuiku di taman pagi
ini.
“Pagi, Echa sayang.. Happy anniv
untuk kita” ucapnya sambil memberikan sebuah kado, sebatang cokelat, dan
setangkai mawar. Tak lupa disertai senyuman. Aku hanya menghela napas dengan
berat. Detik demi detik berlalu. Tapi, aku harus berani untuk mengatakan yang
sejujurnya.
“Miko, aku mau ngomong yang
sebenarnya. Bukannya maksudku ingin menyakitimu. Bukan. Tapi, aku hanya tidak
mau hubungan kita tidak disertai cinta yang tulus dariku. Jadi, lebih baik, aku
mengatakan yang sejujurnya. Sebenarnya, aku tidak pernah cinta padamu. Suka
ataupun yang lain. Aku hanya senang, kamu berperilaku layaknya seorang abang
bagiku. Penerimaanku dua bulan yang lalu itu hanyalah sebuah keterpaksaan.
Bukan terpaksa karena apa-apa. Tapi, aku tidak tega menolakmu setelah
pengorbanan yang besar tersebut. Jadi, maafkan aku. Kamu pasti malu jika aku
menolakmu di depan umum, kan? Atau aku berkata yang sebenarnya? Jadi, saat itu
aku putuskan untuk berbohong, supaya tidak membuatmu sakit hati. Maka dari itu aku menerimamu. Jika kamu
terlalu gengsi untuk aku putuskan, boleh kamu yang mutusin. Aku gak mau
hubungan kita didasari oleh rasa kasihan. Bukan rasa cinta yang sesungguhnya.”
Ungkapku dengan berat hati. Aku yakin, ini sebuah pilihan yang tepat. Aku
harap, dia bisa memberikan jawaban yang tepat.
“Tapi, kamu bisa coba untuk selanjutnya.
Mungkin, kamu akan menemukan rasa cinta yang baru untukku. Iya kan? Jadi, mari
kita coba untuk selanjutnya.” Ucapnya sambil menggenggam tanganku. Aku
melepaskannya seraya berkata, “Enggak, Ko. Aku udah cukup lama mencoba. Tapi
itu percuma. Gak bisa, Ko. Gue cuma sayang sama loe sebagai kakak. Gak lebih.”
Hening. Tidak ada yang bersuara.
Hanya ada detak jantungku yang berdegup serta nafas yang tak beraturan. Emosi
kesedihan muncul di pikiranku. Setetes air mata mulai jatuh. Disusul oleh
dongkolnya hati. Ini semua membuatku sesak dan sakit. Ada hal yang harus
diluapkan sekarang juga.
“Hmmm... Kalau kamu merasa
terkekang dengan semua ini, aku ngerti. Ini semua juga salahku. Mendesakmu
untuk menerimaku. Aku terlalu egois. Tidak memikirkan perasaanmu yang
sebenarnya. Aku pikir, kamu juga suka padaku. Baiklah, cukup sampai disini
hubungan kita. Terimakasih atas semua waktu yang udah kamu luangin buatku.
Walaupun terpaksa, aku tetap senang dengan perlakuanmu kepadaku.” Ucapnya. Aku
memeluknya dengan senang. Menangis terharu di pundaknya. Lalu, ia berkata,
“Tetap jadi adek gue yang paling manis ya, Cha.”
Aku melepaskan pelukanku, lalu
menggangguk dengan yakin. “Siap, Kak!” ucapku sambil menaruh telapak tanganku
di pelipis, layaknya hormat upacara. Lalu, Mikopun berjalan meninggalkanku
sendiri. Aku masih menangis bahagia disini. Kuhapus air mata dengan punggung
tanganku. Semuanya sudah jelas. Tidak ada lagi yang harus kupendam. Sesak itu
kini telah menghilang seiring menjauhnya langkah kaki Miko. Semoga ia mengerti
akan keadaan ini. Semoga.
Sekarang aku mengerti. Semua
yang dilakukan dengan kebohongan, pasti tidak baik pada akhirnya. Percayalah,
itu akan menyakiti diri si pembohong tersebut. Tapi, aku senang, dengan
kejujuran yang barusan aku katakan tadi, itu membuat semuanya lebih baik
daripada yang sebelumnya. Aku tidak bisa memikirkannya, jika aku meneruskan
kebohongan ini untuk waktu yang lebih lama. Tiga bulan... enam bulan... atau
setahun? Mungkin, ini akan menjadi lebih
buruk. Efek dari pernyataanku tadi, mungkin memang membuat Miko sendiri sakit
hati. Tapi, inilah kejujuran. Dibalik itu semua pasti ada kebaikan.Jika aku
teruskan berbohong, lama-kelamaan dia
akan menyadari cinta yang terpaksa tadi. Jadi, sebelum dia tahu, lebih baik aku
mengatakannya lebih awal.
Tiba-tiba dua telapak tangan menutupi mataku
dari belakang. Lalu, ia melepaskannya secara perlahan. Aku menoleh. “Rahel?
Ngapain disini? Nguping, ya?” tanyaku. Dia hanya tersenyum, lalu mengeluarkan
bunga tulip dari balik punggungnya. “Mau jadi pacar aku, gak?” tanyanya dengan
wajah memelas. Aku hanya menamparnya dengan lembut seraya berkata, “Bercanda!”
“Enggak, seriusan. Emang muka
aku kelihatan bercanda ya? Kapan sih, kamu nganggap aku serius?” Kali ini
dengan wajah yang lebih serius. Aku tidak bisa menjawab, tapi aku hanya meraih
bunga tulip yang dipegangnya tersebut. Lalu, iapun tersenyum. Masih dengan
senyuman yang khas. Lalu, iapun menggandeng lenganku, serta bersenandung, “Gue
punya pacar, gue punya pacar...”
Aku memberhentikan langkahku
sejenak. “Siapa bilang, aku terima kamu jadi pacar? Aku kan belum bilang
diterima atau gak. Ya kan?” Rahelpun langsung terdiam sejenak. Tak ada senyuman
di wajahnya. Hanya sebuah ekspresi datar. Aku tersenyum sejenak lalu berkata,
“I am your girlfriend. Bukan, pacar.” Ia tertawa dan berkata, “Sama aja
keles!”. Kini, aku lega. Tidak ada lagi keterpaksaan di dalam hatiku. Hanya ada
rasa cinta untuk Rahel dan kasih sayang yang tulus untuk Miko.
Izin share y kk
ReplyDeletesilahkan dek:)
Delete