Friday, September 4, 2015

CINTA PALSU

BY:RESTIEKAADIANTI

Suasana sepi menyeruak dengan perlahan. Daun-daun kering jatuh berguguran dari rantingnya. Angin menghembus dengan lembutmenyibakkan poni rambutku. Alunan gitar mengalun lembut membunyikan nada mellow. Miko yang memainkannya. Indah. Itulah yang mungkin dipikirkan para penonton. Alunan gitar tersebut mengiringi lagu yang kubawakan. Sebuah lagu dari Maudy Ayunda yaitu Perahu Kertas. Sebuah lagu yang mengingatkanku pada sahabat lama yang akhirnya menjadi cinta pertamaku di masa remaja.

                Kubahagia... perahu kertasku kan melaju. Dan kau ada... diantara milyaran manusia. Dan ku bisa, dengan radarku... menemukanmu. Tiada lagi yang mampu berdiri, halangi rasaku, cintaku padamu.
                Tepukan penonton meramaikan suasana lapangan. Ramai dari mereka yang bersorak gembira. Kusapukan pandanganku ke seluruh lapangan. Sosok yang sangat kukenal melambaikan tangannya dari barisan murid cowok paling belakang. Ia tersenyum dengan sangat manis. Aku membalas senyumnya. Sementara, di barisan cewek teman teman sekelasku bersorak untuk memberikan semangat.
                Setelah usai membawakan lagu tersebut, aku dan Miko turun dari panggung. Selanjutnya adalah penampilan dari ekskul teater. Ya, ini adalah minggu pertama di bulan Februari. Dimana hari ini adalah agenda OSIS menampilkan semua ekstrakurikuler yang ada di sekolah ini. Aku dan Miko adalah perwakilan dari ekskul musik. Sebenarnya, anggota kami sangat ramai. Hanya saja, tidak semua dari kami yang tampil, karena waktu latihan yang diberikan sangat singkat. Sehingga, kami tampil apa adanya.
                “Ko, aku permisi dulu ya beli minum. Haus nih,” ucapku.
                “Nih, minum pake punya aku aja. Baru aku beli. Daripada bolak-balik. Ntar, kalo dah habis, aku yang beliin. Kalo gak, kamu duduk aja, biar aku yang beliin.” Jawab Miko. Begitulah selalu perhatian Miko kepadaku. Perhatiaannya selalu membuatku bahagia. Layaknya seorang kakak laki-laki bagiku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman serta berkata, “Ehm, gak usah deh. Aku beli sendiri aja, sekalian cari angin.”
                “Oh, yaudah. Hati-hati ya, Cha.” Ujarnya. Aku segera berjalan keluar sekolah. Mencari supermarket terdekat untuk membeli sebotol minuman yang aku butuhkan. Tiba-tiba, seseorang memanggilku. Aku memperlambat langkahku.
                “Reskaa!!!” panggil suara tersebut. Aku yakin, ini adalah suara Miko. Tapi, bukankah suara Miko lebih berat? Sejenak aku menoleh. Aku terkejut. Itu adalah suara cowok yang melambaikan tangannya padaku saat tampil tadi. Perkenalkan, namanya Rahel. Sebenarnya, dialah orang yang aku sukai sejak kecil tersebut dan lagu yang kubawakan tadi sebenarnya ditujukan padanya. Sahabat tapi ternyata cinta. Hanya saja, aku tak berani mengungkapkannya. Bagaimana mungkin? Aku adalahseorang wanita. Begitu besar gengsiku untuk mengatakan yang sebenarnya. Jadi, lebih baik rahasia ini kupendam saja dahulu sampai ada waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.
                “Tumben manggil nama asli. Biasanya juga manggil ‘Echa’.” Sahutku sambil berjalan. Dia menyamakan langkah kakinya denganku. Aku hanya menunduk dalam-dalam, menyembunyikan semu merah di pipi. Bahkan, aku hanya berani menatap bayangannya di tanah. Jambul rambutnya yang terhembus angin bergoyang dengan lembut. Tiba-tiba, dia merangkulkan tangannya di pundakku. Wajahku terasa memanas. Bahkan, keringatpun bercucuran di dahiku.
                “Suka-suka gue mau manggil apa. Emangnya masbuloh? Ngomong-ngomong, keren coy penampilan loe tadi. Gilaaak, broo. Pasti semua cowok di sekolah suka deh sama loe. Udah cantik, pandai nyanyi lagi. Gue beruntung jadi sahabat loe.” Ucapnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut. Suasana padatnya jalan raya mengiringi percakapan kami.
                “Biasa aja keles. Gak usah lebay. Loe mau minum, gak? Gue traktir. Nih, gue mau ke supermarket depan.” Tawarku. Sesampainya di supermarket, aku mengambil dua botol air mineral, lalu berjalan ke kasir. Setelah itu, aku memberikan sebotol air mineral tersebut kepada Rahel. Ia meraihnya dengan senyuman. Oh, senyum itu selalu menghiasi wajah lonjongnya. Manis.
                “Thankyou, broo. Tau aja kalo tenggorokan gue kering gegara neriakin nama loe.” Aku hanya melihatnya dengan ekspresi datar. Malu untuk tersenyum. Tapi, lagi-lagi dia menyunginggkan senyumannya untuk yang kesekian kali.  “Eh, hape gue ketinggalan di kelas. Gue ambil dulu ya. Loe bisa jalan sendiri kan? Ati-ati. Entar diculik lagi.” Sahutnya tiba-tiba, kemudian berlari. Setelah dia pergi, aku mengembuskan nafas dengan lega. Huuhh... aku tersenyum mengingat kejadian tadi.
                Ketika aku memasuki sekolah, tidak ada lagi penampilan ekskul di lapangan. Hening, sepi. Hanya ada Miko di tengah lapangan tersebut. Ia duduk di sebuah kursi dengan menundukkan kepalanya. Aku berlari menemuinya. “Miko, kok sepi lapangannya. Pada kemana nih semua orang?” tanyaku dengan terburu-buru. Miko berdiri dengan kedua tangan yang ditaruhnya di belakang punggung. Dia berkata, “Sebenarnya, aku udah lama suka sama kamu, Cha. Tapi, aku baru berani mengatakannya sekarang. Jadi, tanpa perlu basa-basi, will you be my girlfriend?” ucapnya dengan mendadak. Tiba-tiba, spanduk yang bertuliskan “ Miko Love Reska” digantungkan di lantai dua sekolah kami. Spanduk itu tidak hanya satu, tapi ada 5. Ditaruh di lantai 2 dan 3 secara acak. Balon-balon berbentuk love diikatkan di tiang basket. Potongan kertas-kertas kecil yang berwarna, dijatuhkan dari lantai atas tersebut. Lengkap dengan sentuhan terakhir, bunga mawar yang dipegang Miko dikeluarkan dari balik punggungnya. Aku malu. Wajahku saat ini merah padam. Kuharap, Rahel datang saat ini juga, lalu menembakku di depan Miko. Tapi, itu tidak mungkin.  Aku berbalik arah hendak lari, tapi Miko langsung menarik tanganku. “Kamu harus terima, baru boleh pergi.” Ucapnya meyakinkan. Tanpa penuh basa-basi aku menjawab, “Iya, iya.” Lalu, ia melepaskan cengkraman tangannya disertai senyuman. Semua penghuni sekolah langsung bersorak gembira.
2 Bulan Berikutnya...
                Hari ini, adalah hari annivku dengan Miko. Tapi, aku tidaklah bahagia dengan semua ini. Jadi, aku harus membicarakan ini dengan Miko. Dia telah berjanji untuk menemuiku di taman pagi ini.
                “Pagi, Echa sayang.. Happy anniv untuk kita” ucapnya sambil memberikan sebuah kado, sebatang cokelat, dan setangkai mawar. Tak lupa disertai senyuman. Aku hanya menghela napas dengan berat. Detik demi detik berlalu. Tapi, aku harus berani untuk mengatakan yang sejujurnya.
                “Miko, aku mau ngomong yang sebenarnya. Bukannya maksudku ingin menyakitimu. Bukan. Tapi, aku hanya tidak mau hubungan kita tidak disertai cinta yang tulus dariku. Jadi, lebih baik, aku mengatakan yang sejujurnya. Sebenarnya, aku tidak pernah cinta padamu. Suka ataupun yang lain. Aku hanya senang, kamu berperilaku layaknya seorang abang bagiku. Penerimaanku dua bulan yang lalu itu hanyalah sebuah keterpaksaan. Bukan terpaksa karena apa-apa. Tapi, aku tidak tega menolakmu setelah pengorbanan yang besar tersebut. Jadi, maafkan aku. Kamu pasti malu jika aku menolakmu di depan umum, kan? Atau aku berkata yang sebenarnya? Jadi, saat itu aku putuskan untuk berbohong, supaya tidak membuatmu sakit hati.  Maka dari itu aku menerimamu. Jika kamu terlalu gengsi untuk aku putuskan, boleh kamu yang mutusin. Aku gak mau hubungan kita didasari oleh rasa kasihan. Bukan rasa cinta yang sesungguhnya.” Ungkapku dengan berat hati. Aku yakin, ini sebuah pilihan yang tepat. Aku harap, dia bisa memberikan jawaban yang tepat.
                “Tapi, kamu bisa coba untuk selanjutnya. Mungkin, kamu akan menemukan rasa cinta yang baru untukku. Iya kan? Jadi, mari kita coba untuk selanjutnya.” Ucapnya sambil menggenggam tanganku. Aku melepaskannya seraya berkata, “Enggak, Ko. Aku udah cukup lama mencoba. Tapi itu percuma. Gak bisa, Ko. Gue cuma sayang sama loe sebagai kakak. Gak lebih.”
                Hening. Tidak ada yang bersuara. Hanya ada detak jantungku yang berdegup serta nafas yang tak beraturan. Emosi kesedihan muncul di pikiranku. Setetes air mata mulai jatuh. Disusul oleh dongkolnya hati. Ini semua membuatku sesak dan sakit. Ada hal yang harus diluapkan sekarang juga.
                “Hmmm... Kalau kamu merasa terkekang dengan semua ini, aku ngerti. Ini semua juga salahku. Mendesakmu untuk menerimaku. Aku terlalu egois. Tidak memikirkan perasaanmu yang sebenarnya. Aku pikir, kamu juga suka padaku. Baiklah, cukup sampai disini hubungan kita. Terimakasih atas semua waktu yang udah kamu luangin buatku. Walaupun terpaksa, aku tetap senang dengan perlakuanmu kepadaku.” Ucapnya. Aku memeluknya dengan senang. Menangis terharu di pundaknya. Lalu, ia berkata, “Tetap jadi adek gue yang paling manis ya, Cha.”
                Aku melepaskan pelukanku, lalu menggangguk dengan yakin. “Siap, Kak!” ucapku sambil menaruh telapak tanganku di pelipis, layaknya hormat upacara. Lalu, Mikopun berjalan meninggalkanku sendiri. Aku masih menangis bahagia disini. Kuhapus air mata dengan punggung tanganku. Semuanya sudah jelas. Tidak ada lagi yang harus kupendam. Sesak itu kini telah menghilang seiring menjauhnya langkah kaki Miko. Semoga ia mengerti akan keadaan ini. Semoga.
                Sekarang aku mengerti. Semua yang dilakukan dengan kebohongan, pasti tidak baik pada akhirnya. Percayalah, itu akan menyakiti diri si pembohong tersebut. Tapi, aku senang, dengan kejujuran yang barusan aku katakan tadi, itu membuat semuanya lebih baik daripada yang sebelumnya. Aku tidak bisa memikirkannya, jika aku meneruskan kebohongan ini untuk waktu yang lebih lama. Tiga bulan... enam bulan... atau setahun? Mungkin, ini akan menjadi  lebih buruk. Efek dari pernyataanku tadi, mungkin memang membuat Miko sendiri sakit hati. Tapi, inilah kejujuran. Dibalik itu semua pasti ada kebaikan.Jika aku teruskan berbohong,  lama-kelamaan dia akan menyadari cinta yang terpaksa tadi. Jadi, sebelum dia tahu, lebih baik aku mengatakannya lebih awal.
Tiba-tiba dua telapak tangan menutupi mataku dari belakang. Lalu, ia melepaskannya secara perlahan. Aku menoleh. “Rahel? Ngapain disini? Nguping, ya?” tanyaku. Dia hanya tersenyum, lalu mengeluarkan bunga tulip dari balik punggungnya. “Mau jadi pacar aku, gak?” tanyanya dengan wajah memelas. Aku hanya menamparnya dengan lembut seraya berkata, “Bercanda!”
                “Enggak, seriusan. Emang muka aku kelihatan bercanda ya? Kapan sih, kamu nganggap aku serius?” Kali ini dengan wajah yang lebih serius. Aku tidak bisa menjawab, tapi aku hanya meraih bunga tulip yang dipegangnya tersebut. Lalu, iapun tersenyum. Masih dengan senyuman yang khas. Lalu, iapun menggandeng lenganku, serta bersenandung, “Gue punya pacar, gue punya pacar...”

                Aku memberhentikan langkahku sejenak. “Siapa bilang, aku terima kamu jadi pacar? Aku kan belum bilang diterima atau gak. Ya kan?” Rahelpun langsung terdiam sejenak. Tak ada senyuman di wajahnya. Hanya sebuah ekspresi datar. Aku tersenyum sejenak lalu berkata, “I am your girlfriend. Bukan, pacar.” Ia tertawa dan berkata, “Sama aja keles!”. Kini, aku lega. Tidak ada lagi keterpaksaan di dalam hatiku. Hanya ada rasa cinta untuk Rahel dan kasih sayang yang tulus untuk Miko.

2 comments: